Sebenarnya saya tidak terlalu tertarik untuk posting blog yang tidak
ada gambarnya, karena kurang minat pembaca. Tapi aku buat pengecualian ini. Sebab telah banyak terjadi kesalahan persepsi yang mengatakan bahwa orang genius itu adalah faktor gen. itu adalah kesalahan besar
Baca Terus blog ini jika anda memiliki niat untuk berubah dan menghapus pikiran bahwa anda bukan keturunan orang cerdas..
Kemampuan matematika, musik atau cara
berbicara dianggap sebagai bakat bawaan atau biologis dalam gen
manusia. Tapi hal tersebut tidak sepenuhnya benar, karena bakat bisa
diperoleh dengan latihan.
David Shenk, seorang penulis Amerika di
bidang genetika, meminta orang untuk berpikir lagi jika mengatakan bakat
atau kejeniusan seseorang berasal sepenuhnya dari gen alias keturunan.
Menurutnya, kecenderungan untuk mengatakan kemampuan tersebut adalah genetik (predisposisi) telah sangat dilebih-lebihkan. Pandangan ini menyebabkan terabaikannya potensi yang dimiliki dalam diri seseorang.
“Ada
kesalahpahaman yang mendalam tentang sebuah prestasi besar. Gen tidak
membatasi kita untuk biasa-biasa saja atau lebih buruk dari itu,” kata
David Shenk, seperti dilansir dari Timesonline, Kamis (25/3/2010).
Dalam
buku barunya The Genius in All of Us, yang menggambarkan perbandingan
dengan karya sosiolog pop Kanada Malcolm Gladwell, Shenk menggambarkan
bahwa DNA manusia terbuka untuk terus-menerus dipengaruhi oleh
faktor-faktor eksternal.
Alam dan pemeliharaannya secara konstan
berinteraksi, sama halnya dengan gen yang dapat diaktifkan atau
dinon-aktifkan atau diungkapkan ke derajat yang berbeda-beda, tergantung
pada lingkungannya.
Bidang epigenetika semakin menunjukkan bahwa
pengalaman lingkungan selama hidup meninggalkan jejak pada gen, yang
diwariskan kepada anak-anak. Shenk berpandangan pengaruh lingkungan
dapat melebihi apa yang mungkin dianggap sebagai keterbatasan manusia.
Sebagai
contoh kemampuan bermusik. Banyak pemusik yang mengatakan bahwa dia
terlahir tanpa bakat musik atau ada yang mangatakan dia terlahir untuk
bermusik. Faktanya adalah tidak ada seseorang yang terlahir dengan bakat
bawaan. Setiap orang terlahir dengan potensi nada bermusik.
Hal
ini bisa dilihat dalam jumlah keseluruhan kasus (prevalensi) yang jauh
lebih tinggi seperti China negara yang berbahasa dengan nada yang
sempurna. Orang China berkomunikasi sehari-hari dengan nada yang
sempurna, sehingga menjadi lebih baik dalam hal itu.
Memiliki
keunggulan genetik dalam bidang olahraga tertentu juga dipertanyakan.
Keberhasilan pelari maraton Kenya misalnya bukan berasal dari gen
melainkan budaya yang telah mendarah daging. Banyak anak-anak Kenya
berlari 8 hingga 10 km per hari sejak usia 7 tahun.
Bahkan
ciri-ciri kepribadian seperti keuletan atau ketekunan untuk mempengaruhi
keberhasilan dalam setiap bidang kehidupan dapat dilatih.
Persepsi
pembatasan diri adalah salah satu hambatan terbesar untuk prestasi
besar atau jenius. Dalam sebuah percobaan, anak-anak diberi diberi
pilihan untuk menerima satu marshmallow dengan segera atau menunggu 15
menit untuk mendapatkan dua buah marshmallow.
Sepertiga dari
anak-anak segera memilih satu marshmallow (manisan), sepertiga lainnya
menunggu beberapa menit, tetapi menyerah karena tergoda, sedangkan
sepertiga terakhir sabar menunggu untuk menerima dua marshmallow.
Pesan
yang diperoleh dari hal ini adalah anak yang secara alami lebih
disiplin dan ditakdirkan untuk berbuat lebih baik. Penelitian
selanjutnya menunjukkan bahwa anak-anak dapat diajarkan manfaat menunda
kepuasan. Shenk mengatakan bahwa semua orang tua bisa belajar dari ini.
“Ada
logika melingkar tentang bakat. Ketika Anda melihat seseorang yang
hebat, misalnya David Beckham sebagai pemain sepak bola, mereka begitu
jauh dari apa yang Anda mampu, kemudian Anda akan berasumsi bahwa Anda
tidak bisa sampai di sana,” kata Shenk.
Shenk mengakui bahwa judul
bukunya dimaksudkan untuk menjadi provokatif, tetapi ia mengatakan,
“Saya tidak mengatakan bahwa siapa pun bisa apa saja, tapi tidak ada
yang dapat menjadi besar dalam segala hal kecuali jika mereka memiliki
keyakinan mendasar tentang kemungkinan”.
Bagaimana mengubah anak menjadi jenius?
1. Percaya
Mulailah
dengan sebuah keyakinan yang sederhana bahwa setiap anak memiliki
potensi besar dan terserah kepada orang tua untuk mengumpulkan sumber
daya tersebut untuk dieksploitasi.
2. Model pengendalian diri
Berperilakulah
sebagai contoh agar anak juga berperilaku seperti yang kita inginkan.
Tidak membeli, makan atau mengambil apapun yang kita inginkan, kapanpun
kita inginkan. Semakin kita menunjukkan pengendalian diri, semakin anak
akan menyerap.
3. Berlatih
Jangan segera
menanggapi setiap permohonan anak. Biarkan anak belajar berurusan dengan
frustasi dan keinginan. Biarkan mereka belajar bagaimana menenangkan
diri dan menemukan bahwa segalanya akan baik-baik jika mereka menunggu
apa yang mereka inginkan.
Bagaimana mengubah diri menjadi jenius?
1. Mengidentifikasi keterbatasan dan kemudian mengabaikannya
Jarak
antara kemampuan yang dimiliki dan kemampuan yang diinginkan begitu
besar sehingga tujuan yang muncul tidak tercapai. Kebesaran tidak hanya
satu langkah yang biasa-biasa saja, melainkan melampaui yang biasa-biasa
saja dengan satu langkah.
2. Menunda kepuasan
Dalam
budaya konsumen, kita senantiasa dikondisikan untuk memenuhi keinginan
dengan segera. Prestasi besar melampau keinginan itu.
3. Punya sosok pahlawan
Pahlawan
menginspirasi, bukan hanya karena karya besarnya tetapi awal sederhana
yang mereka miliki. Einstein pernah bekerja sebagai petugas memberi hak
paten atau Thomas Edison dikeluarkan dari sekolah di kelas pertama, pada
usia 6 atau 7 tahun karena guru menganggapnya terbelakang.
Sumber : http://www.indowebster.web.id/showthread.php?t=81378